HIV yang baru memperbanyak diri tampak bermunculan
sebagai bulatan-bulatan kecil (diwarnai hijau) pada permukaan limfosit
setelah menyerang sel tersebut; dilihat dengan mikroskop elektron.AIDS merupakan bentuk
terparah atas akibat infeksi HIV. HIV adalah retrovirus
yang biasanya menyerang organ-organ vital sistem kekebalan manusia,
seperti sel T CD4+ (sejenis sel T), makrofaga,
dan sel dendritik. HIV merusak sel T CD4+ secara
langsung dan tidak langsung, padahal sel T CD4+ dibutuhkan
agar sistem kekebalan tubuh dapat berfungsi baik. Bila HIV telah
membunuh sel T CD4+ hingga jumlahnya menyusut hingga kurang
dari 200 per mikroliter
(µL) darah,
maka kekebalan di tingkat sel akan hilang, dan akibatnya ialah kondisi
yang disebut AIDS. Infeksi akut HIV akan berlanjut menjadi infeksi laten klinis,
kemudian timbul gejala infeksi HIV awal, dan akhirnya AIDS; yang
diidentifikasi dengan memeriksa jumlah sel T CD4+ di dalam
darah serta adanya infeksi tertentu.
Tanpa terapi antiretrovirus, rata-rata
lamanya perkembangan infeksi HIV menjadi AIDS ialah sembilan sampai
sepuluh tahun, dan rata-rata waktu hidup setelah mengalami AIDS hanya
sekitar 9,2 bulan.[25]
Namun demikian, laju perkembangan penyakit ini pada setiap orang
sangat bervariasi, yaitu dari dua minggu sampai 20 tahun. Banyak faktor
yang memengaruhinya, diantaranya ialah kekuatan tubuh untuk bertahan
melawan HIV (seperti fungsi kekebalan tubuh) dari orang yang
terinfeksi.[26][27]
Orang tua umumnya memiliki kekebalan yang lebih lemah daripada orang
yang lebih muda, sehingga lebih berisiko mengalami perkembangan penyakit
yang pesat. Akses yang kurang terhadap perawatan kesehatan dan adanya
infeksi lainnya seperti tuberkulosis,
juga dapat mempercepat perkembangan penyakit ini.[25][28][29]
Warisan
genetik orang yang terinfeksi juga memainkan peran penting.
Sejumlah orang kebal secara alami terhadap beberapa varian HIV. [30]
HIV memiliki beberapa variasi genetik dan berbagai bentuk yang
berbeda, yang akan menyebabkan laju perkembangan penyakit klinis yang
berbeda-beda pula.[31][32][33]
Terapi antiretrovirus yang sangat aktif akan dapat memperpanjang
rata-rata waktu berkembangannya AIDS, serta rata-rata waktu kemampuan
penderita bertahan hidup.
Penularan seksual
Penularan
(transmisi) HIV secara seksual terjadi ketika ada kontak antara sekresi
cairan vagina atau cairan preseminal seseorang dengan rektum, alat
kelamin, atau
membran mukosa mulut pasangannya. Hubungan
seksual reseptif tanpa pelindung lebih berisiko daripada hubungan
seksual insertif tanpa pelindung, dan risiko hubungan seks anal lebih
besar daripada risiko hubungan seks biasa dan seks oral. Seks oral
tidak berarti tak berisiko karena HIV dapat masuk melalui seks oral
reseptif maupun insertif.
[34]
Kekerasan seksual secara umum meningkatkan risiko penularan HIV karena
pelindung umumnya tidak digunakan dan sering terjadi trauma fisik
terhadap rongga vagina yang memudahkan transmisi HIV.
[35]
Penyakit menular seksual
meningkatkan risiko penularan HIV karena dapat menyebabkan gangguan
pertahanan
jaringan epitel normal akibat adanya
borok alat
kelamin, dan juga karena adanya penumpukan sel yang terinfeksi HIV (
limfosit
dan
makrofaga)
pada semen dan sekresi vaginal. Penelitian epidemiologis dari Afrika
Sub-Sahara,
Eropa,
dan
Amerika Utara menunjukkan bahwa terdapat sekitar empat kali
lebih besar risiko terinfeksi AIDS akibat adanya borok alat kelamin
seperti yang disebabkan oleh
sifilis
dan/atau
chancroid.
Resiko tersebut juga meningkat secara nyata, walaupun lebih kecil, oleh
adanya penyakit menular seksual seperti
kencing
nanah, infeksi
chlamydia, dan
trikomoniasis
yang menyebabkan pengumpulan lokal limfosit dan makrofaga.
[36]
Transmisi HIV bergantung pada tingkat kemudahan penularan dari pengidap
dan kerentanan pasangan seksual yang belum terinfeksi. Kemudahan
penularan bervariasi pada berbagai tahap penyakit ini dan tidak konstan
antarorang.
Beban virus plasma yang tidak dapat dideteksi
tidak selalu berarti bahwa beban virus kecil pada air mani atau sekresi
alat kelamin. Setiap 10 kali penambahan jumlah RNA HIV plasma darah
sebanding dengan 81% peningkatan laju transmisi HIV.
[36][37]
Wanita lebih rentan terhadap infeksi HIV-1 karena perubahan hormon,
ekologi serta fisiologi mikroba vaginal, dan kerentanan yang lebih besar
terhadap penyakit seksual.
[38][39]
Orang yang terinfeksi dengan HIV masih dapat terinfeksi jenis virus
lain yang lebih mematikan.
Jalur penularan ini terutama berhubungan dengan
pengguna obat suntik, penderita
hemofilia,
dan resipien
transfusi darah dan produk darah. Berbagi
dan menggunakan kembali
jarum suntik (
syringe) yang mengandung darah yang
terkontaminasi oleh organisme biologis penyebab penyakit (
patogen),
tidak hanya merupakan risiko utama atas infeksi HIV, tetapi juga
hepatitis
B dan
hepatitis C. Berbagi penggunaan jarum suntik
merupakan penyebab sepertiga dari semua infeksi baru HIV dan 50% infeksi
hepatitis C di
Amerika Utara,
Republik Rakyat Cina, dan
Eropa
Timur. Resiko terinfeksi dengan HIV dari satu tusukan dengan jarum
yang digunakan orang yang terinfeksi HIV diduga sekitar 1 banding 150.
Post-exposure prophylaxis
dengan obat anti-HIV dapat lebih jauh mengurangi risiko itu.
[40]
Pekerja fasilitas kesehatan (perawat, pekerja laboratorium, dokter,
dan lain-lain) juga dikhawatirkan walaupun lebih jarang. Jalur
penularan ini dapat juga terjadi pada orang yang memberi dan menerima
rajah dan
tindik
tubuh.
Kewaspadaan universal sering kali
tidak dipatuhi baik di Afrika Sub Sahara maupun Asia karena sedikitnya
sumber daya dan pelatihan yang tidak mencukupi. WHO memperkirakan 2,5%
dari semua infeksi HIV di Afrika Sub Sahara ditransmisikan melalui
suntikan pada fasilitas kesehatan yang tidak aman.
[41]
Oleh sebab itu,
Majelis Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa, didukung oleh opini medis umum dalam
masalah ini, mendorong negara-negara di dunia menerapkan kewaspadaan
universal untuk mencegah penularan HIV melalui fasilitas kesehatan.
[42]
Resiko penularan HIV pada penerima transfusi darah sangat kecil di
negara maju. Di negara maju, pemilihan donor bertambah baik dan
pengamatan HIV dilakukan. Namun demikian, menurut
WHO, mayoritas
populasi dunia tidak memiliki akses terhadap darah yang aman dan
"antara 5% dan 10% infeksi HIV dunia terjadi melalui transfusi darah
yang terinfeksi".
[43]
Penularan masa perinatal
Transmisi
HIV dari ibu ke anak dapat terjadi melalui rahim (
in utero)
selama masa
perinatal, yaitu minggu-minggu terakhir kehamilan
dan saat persalinan. Bila tidak ditangani, tingkat penularan dari ibu
ke anak selama kehamilan dan persalinan adalah sebesar 25%. Namun
demikian, jika sang ibu memiliki akses terhadap terapi antiretrovirus
dan melahirkan dengan cara
bedah
caesar, tingkat penularannya hanya sebesar 1%.
[44]
Sejumlah faktor dapat memengaruhi risiko infeksi, terutama beban virus
pada ibu saat persalinan (semakin tinggi beban virus, semakin tinggi
risikonya).
Menyusui meningkatkan risiko penularan sebesar 4%.
[45]